Pulau Owi dan Biak di Tanah Papua menjadi saksi ketegangan antara pasukan Sekutu danJepang selama masa Perang Dunia II. Jika dikelola dengan baik maka kedua pulau ini bisa menjadi daerah tujuan wisata sejarah sekaligus alam.
Selama Perang Dunia II berlangsung, tak bisa dipungkiri jika kekuatan pasukan Jepang begitu tangguh menguasai wilayah Asia-Pasifik. Sebelum peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, pasukan Negeri Matahari terbit ini menjadikan wilayah Nusantara sebagai salah satu basis pertahanannya.
Sebagai Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya pasukan Sekutu Amerika Serikat, Jenderal Douglas Mac Arthur pun harus putar otak untuk melumpuhkan kekuatan Jepang.. Ia berpendapat untuk melumpuhkan Jepang harus diputus nadi kekuatannya pada Pulau Luzon, Filipina. Maka markas Komando Sekutu dipindah dari Brisbane, Australia, ke Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura.
Arthur berharap dengan strategi Loncat Katak (frogleap), melalui Biak dan Morotai yang ketika itu menjadi basis pertahanan pasukan Jepang, maka akan bisa merebut Filipina. Teknologi pesawat tempur saat itu, memerlukan titik-titik pengisian bahan bakar, diantaranya untuk merebut Biak yang diduduki oleh 11.000 tentara Jepang. Pasukan Dai Nippon tersebut bermarkas di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Ia pun lalu menunjuk sebuah pulau karang yang menurutnya sangat ideal. Pulau yang sepi terpencil, tidak jauh dari Biak, relatif landai dengan tekstur karang keras berpasir, dan menyimpan air tawar. Pilihan jatuh pada Pulau Owi dan dengan target waktu gerakan pasukan Sekutu dari Papua Nugini ke Filipina harus tuntas di akhir tahun, maka pada Mei 1944 itu pula pasukan Zeni dari Sekutu dalam tempo satu minggu menyelesaikan tiga landasan pacu pesawat tempur di Pulau Owi. Hancuran karang ditebar, lalu disiram dengan air laut, maka menjadi landasan pesawat yang cukup keras.
Jika anda berkunjung ke Pulau Owi sekarang ini, masih bisa melihat sisa-sisa landasan tersebut. Meskipun memang kondisinya sudah cukup memprihatinkan. Maklum karena letaknya yang terpencil, ironisnya, Owi kini hanyalah sebuah pulau yang terlantar.
Tak puas dengan penelusuran di Pulau Owi, anda bisa menyeberang ke Pulau Biak. Di pulau ini sisa-sisa masa perang dunia II banyak yang bisa anda temui. Antara lain sisa-sisa bangkai pesawat tempur yang hancur karena ledakan, berbagai macam senjata yang dulu pernah digunakan, hingga Goa Jepang yang menyimpan cerita legenda masyarakat setempat.
Goa itu bernama Abyab Binsari yang dalam bahasa Biak berarti Goa Nenek (Abyab= Goa, Binsari = Nenek). Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu kala dalam goa ini hidup seorang nenek tua.
Namun setelah masa Perang Dunia II, goa ini kemudian lebih dikenal sebagai Goa Jepang. Ketika perang berlangsung, tak kurang dari 3000 bala tentara Jepang di bawah komando Kolonel Kuzume memanfaatkan goa tersebut sebagai kubu pertahanan terakhir pasukan Jepang setelah hampir seluruh Pulau Biak dibombardir oleh Sekutu.
Pada tanggal 21 Juni 1944, goa ini diserang dan dibakar oleh pasukan Sekutu dari Batalyon 1 infanteri 162. Kolonel Kuzume beserta anak buahnya tewas dan terbakar dalam goa tersebut.
Untuk mengenangnya, pada tahun 1956 pemerintah Kerajaan Jepang pun membangun sebuah monumen di dekat Goa tersebut pada tahun 1956. Selain goa tersebut anda juga bisa mengunjungi sebuah museum yang dibangun untuk mengenang peristiwa pertempuran sengit Sekutu dan Jepang. Di museum ini tersimpan photo-photo, bangkai-bangkai senjata dan pecahan-pecahan granat yang dapat dilihat dan diambil gambarnya oleh wisatawan.
Pemerintah jepang juga membangun sebuah monumen perang yang diresmikan pada 24 Maret 1994. Tujuannya hanya satu, untuk memperingatkan kepada umat manusia sedunia bahwa perang adalah pembawa malapetaka yang berkepanjangan dan tidak ada untungnya bagi yang menang maupun yang kalah.
Monumen ini terletak di Pantai Paray dan hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat kota Biak. Untuk menuju kesana dapat di tempuh dengan kendaraan darat atau taksi dari kota Biak
“Bermodalkan nilai sejarah yang sangat besar inilah, maka Pulau Owi dan Biak bisa menjadi titik utama pariwisata di masa depan,” jelas Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga putra Papua. Tak berlebihan rasanya jika melihat keindahan alam lautnya yang sangat mempesona pulau karang ini dikelilingi oleh tiga Taman Laut, yakni Padaido, Pulau Rani-Mapia, dan Pulau Meos Indi.
Pulau Owi dianggap dapat menjadi sekaligus obyek wisata sejarah, wisata bahari, dan wisata budaya sehingga dapat pula menjadi salah satu penghela gerbong ekonomi mensejahterakan Papua.
w.rahardjo
Sumber : Milis komunitashistoria@yahoogroups.com